Judul di atas menggambarkan upaya sungguh-sungguh untuk memahami dan mempraktikkan dengan benar penegakan syariat Islam dengan cara yang sesuai dengan Islam. Meskipun kenyataan faktual banyak upaya yang dilakukan umat Islam dalam menegakkan kalimat Allah itu dengan berbagai cara. Adakalanya Islami tapi parsial, ada pula yang tidak Islami tetapi berusaha melegitimasi dengan dalil-dalil syar'i dengan lebih banyak bersifat ijthadi pada saat ada dalil. Sebab, ijtihad dilakukan pada saat tidak ada dalil atau dalil bisa dipahami lebih dari satu pengertian.
Karenanya, kita dapati berbagai corak perjuangan yang dilakukan umat
Islam satu sama lain menekankan pentingnya bidang garapan yang
digelutinya. Para politisi Muslim, umpamanya, menekankan perjuangan
Islam yang paling efektif adalah melalui jalur politik. Sementara, para
ekonom Muslim menganalisis, mana mungkin perjuangan Islam bisa berhasil
kalau umat Islam lemah ekonominya. Demikian pula para juru dakwah,
mereka mengemukakan bahwa perjuangan Islam yang paling dominan adalah
umat Islam ini kembali berpegang kepada Islam agar mereka jaya, tanpa
memperinci lebih jauh apa dan bagaimana merealisasikannya, dst. ... dst.
Maka dari itu, tema ini menjadi penting untuk dibahas dalam rangka
merekonstruksi perjuangan umat Islam dalam menegakkan dinullah sesuai
dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya serta perjalanan salafus shaleh
sepanjang sejarah perjuangan umat Islam.
Tujuan
Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak pada
hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak
membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kalau kita
punya andil dalam persoalan tersebut. Karenanya, banyak ayat yang
menekankan tanggung jawab ini.
Allah SWT telah berfirman (yang artinya): "Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 286).
"Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri."
(An-Nisa: 84). "Hai orang-orang yang beriman, selamatkanlah diri kalian
dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6).
Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): "Mulailah dengan diri kalian
sendiri atau mulailah dengan keluargamu." Dengan demikian, prioritas
kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari segala kemungkinan
penyimpangan terhadap misi utama kehidupan kita, yaitu: "Dan tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku."
(Adz-Dzariyat: 56).
Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah
seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan
kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhoi Allah SWT. "Segala apa
yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan, perbuatan
yang nampak, maupun yang tersembunyi." (Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyah,
hlm. 1).
Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai
dengan syariat Islam. Jadi, fokusnya adalah kita sementara acuannya
adalah syariat Islam. Karenanya tidak benar seseorang yang belum
mengerti ajaran Islam dalam membangun kepribadiannya, tetapi sudah sibuk
bagaimana menegakkan Islam. Tidak berarti menegakkan Islam tidak
penting, tetapi prosesnya salah. Sesudah seseorang dalam sekup individu
melaksanakan tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah, dia akan
melangkah menempati posisi di masyarakatnya sesuai dengan kapasitas
masing-masing. Di sinilah terjadi interaksi dan kooperasi antara anggota
masyarakat Muslim sesuai dengan firman Allah SWT: "Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah:
2).
Dan, tanggung jawabnya semakin luas sesuai dengan kapasitas
kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai
pertanggungjawabannya seperti sabda Nabi saw., "Ketahuilah bahwa setiap
kalian adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap
apa yang menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia
adalah penanggung jawab dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi
tanggung jawabnya. Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya
dan dia akan ditanyai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan
seorang istri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya dan anaknya dan
dia akan ditanya tentang mereka." (HR Bukhari, Muslim, dan selain
keduanya).
Apabila setiap individu tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai
hamba Allah yang berkewajiban melaksanakan syariat Islam sesuai dengan
kemampuannya, berarti dia telah berkhianat. "Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan
(juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfal: 27).
Dalam istilah fiqh bahwa tanggung jawab personal itu fardhu 'ain,
sedangkan tanggung jawab kolektif adalah fardhu kifayah. Adalah salah
besar kalau ada orang yang mengutamakan fardhu kifayah (tanggung jawab
kolektif) daripada tanggung jawab fardhu 'ain (individu). Tetapi,
menjadi sangat baik kalau dia mengerjakan fardhu 'ainnya sekaligus
melaksanakan fardhu kifayahnya. Kalau tidak, maka seluruh umat berdosa.
Teladan Rasulullah
Gambaran di atas akan lebih jelas pada personifikasi Rasulullah saw.
sebagai teladan bagi perjuangan umat Islam. Dan, mempelajari perjalanan
perjuangan Nabi saw. tidak boleh sepotong-sepotong, seperti mereka yang
terperangkap dengan mengkotak-kotakkan masa Mekah dan masa Madinah.
Karena, Islam sudah lengkap dan Nabi saw. telah mempraktikkannya secara
sempurna. Makanya, kewajiban kita adalah memahami sirah Nabi saw. itu
secara komprehensif dan mempaktikkannya sesuai dengan kapasitas dan
kondisi kita, seperti firman Allah SWT: "Maka bertakwalah kalian kepada
Allah semampu kalian ...." (Ath-Thaghabun: 16). Dan, Rasulullah saw.
memberikan arahan atas kelengkapan syariat Islam yang harus kita
pedomani:
"Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan hal-hal yang wajib, maka
janganlah kalian meninggalkannya; dan telah memberikan batasan-batasan,
maka janganlah kalian melanggarnya. Dia mengharamkan sesuatu, maka
janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan banyak hal sebagai rahmat
bagi kalian, maka janganlah kalian mencari-cari (hukumnya)." (HR
Daruqutni, hadits hasan). Dan, beliau menekankan pegangan yang harus
dipedomani pada saat terjadi perbedaan atau perselisihan: "Maka, barang
siapa yang hidup di antara kalian, niscaya akan melihat perbedaan yang
banyak. Maka, hendaklah kalian (mengikuti) sunnahku dan juga sunnah
Khulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk dan gigitlah dengan gigi
geraham dan hendaklah kalian menjauhui perkara-perkara yang diciptakan
(bid'ah, red.), karena sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat."
(HR Abu Daud dan Tirmidzi, hadits hasan).
(HR Abu Daud dan Tirmidzi, hadits hasan).
Secara ringkas kita melihat praktik Nabi saw. dalam membangun kekuatan
Islam. Nabi saw. ketika berada di Mekah membuat kader yang difokuskan di
rumah-rumah dan terutama di rumah Arqam bin Abi Arqam. Di antara kader
yang matang ditugasi menyampaikan dakwah, seperti Mushab bin 'Umair yang
dikirim ke madinah.
Nabi saw. mencari tempat yang kondusif untuk mengembangkan dakwah dan
kekuatan Islam. Beliau pergi ke Thaif tetapi tidak cocok. Kemudian
beliau lebih memilih ke Madinah karena mendapat sambutan di sana.
Kemudian beliau membangunn masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam dan
penempaan para kader. Langkah berikutnya beliau mempererat hubungan
sesama Muslim dengan mempersaudarakan antara Muhajirin (dari Mekah) dan
Anshar (dari Madinah). Beliau membuat Piagam Madinah untuk membentengi
umat Islam dan memberikan hak-hak non-Muslim. Nabi saw. mempersiapkan
kekuatan untuk menghadang segala upaya ofensif kaum kuffar sampai 27
kali belaiu berperang antara perang defensif dan ofensif (seperti Perang
Tabuk).
Di sini menjadi jelas bahwa kesatuan visi yaitu membangun aqidah yang
benar sampai kesatuan langkah, yaitu kepada tegaknya kekuatan jihad
merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh. (Lihat, DR. Rabi' bin Hadi
al-Madkhal, Minhajul Anbiya, hlm. 87).
Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggunakan istilah perjuangan
menegakkan Islam dengan cara Islam, yaitu dengan ungkapan "jihad".
Beliau membagi jihad ini menjadi 4 bagian:
Jihad menundukkan hawa nafsu meliputi 4 tahap.
-
Berjihad dengan mempelajari ajaran agama Islam demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
-
Jihad melaksanakan ilmu yang diperolehnya itu, karena ilmu tanpa amal adalah tidak berarti dan bahkan membahayakan.
-
Jihad dengan berdakwah berdasarkan ilmu yang benar dan praktik nyata.
-
Jihad menekan diri agar sabar terhdap cobaan dakwah berupa gangguan manusia (empat hal inilah makna yang terkandung dalam surah Al-Ashr, yang kata Imam Syafi'i seandainya Allah tidak menurunkan ayat kecuali Al-'Ashr, niscaya cukup bagi manusia).
Jihad melawan syaitan meliputi dua hal.
-
Jihad melawan pemikiran syaitan berupa syubhat dan keragu-raguan yang dapat merusak keimanan. Perlawanannya adalah dengan keyakinan.
-
Jihad melawan syaitan yang membisikan agar terjerumus kepada syahwat, hawa nafsu. Caranya dengan sabar dan menahan diri dengan berpuasa. (Lihat QS As-Sajdah: 2).
Jihad melawan kaum kufar dan munafikin melalui 4 tahap.
-
Dengan kalbu
-
Dengan lisan
-
Dengan harta
-
Dengan tangan
Jihad melawan kaum kuffar lebih utama dengan tangan, sementara terhadap kaum munafikin dengan lisan.
Jihad melawan kezaliman, kemungkaran, dan bid'ah ditempuh melalui tiga tahap.
-
Dengan tangan kalau mampu, kalau tidak
-
dengan lisan, kalau tidak mampu
-
minimal dengan hati. (HR Muslim).
Demikian 13 tingkatan jihad yang telah dilaksanakan secara sempurna oleh Rasulullah saw. (Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Zaadul Ma'ad, Juz 3 hlm. 6-12).
Benar kata Umar bin Khattab dalam ungkapan spektakulernya, yang artinya,
"Kami adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam, seandainya kami
mencari selainnya, niscaya kami akan dihinakan oleh Allah."
Juga ucapan Imam Malik, "Tidaklah urusan umat ini akan menjadi baik,
kecuali dengan mengikuti hal-hal yang telah menjadikan umat terdahulu
menjadi baik." Wallahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar