Larangan Meratapi Mayit (Niyahah)
Bersedih saat mendapat musibah kematian
orang yang dicintai merupakan keadaan yang lumrah bagi setiap orang.
Yang menjadi masalah adalah ketika kesedihan itu diungkapkan dengan cara
yang tidak semestinya, yang menunjukkan ketidaksabaran dalam menerima
musibah tersebut. Bagaimana bentuk kesedihan yang dibolehkan saat
mendapat musibah kematian orang yang kita cintai? Apakah menangis
termasuk bentuk yang dilarang?
Dunia Tempat Ujian dan Cobaan
Sudah menjadi sunnatullah bahwasanya
dunia adalah tempat ujian dan cobaan, sehingga datangnya merupakan suatu
kepastian. Seorang hamba yang mengaku beriman kepada Allah Subhanahu
wata’aala dan hari akhir mesti bersiap diri menghadapi ujian dan cobaan
tersebut, karena seorang hamba tidak dibiarkan dengan pengakuan keimanan
dari lisannya sampai datang pembuktian berupa ujian. Dia yang Maha Suci
menyatakan dalam Al Qur`an yang agung:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
akan dibiarkan saja mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka
belum diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum
mereka, agar Allah sungguh-sungguh mengetahui siapa orang-orang yang
benar (dalam keimanannya) dan benar-benar mengetahui siapa orang-orang
yang dusta.” (‘Al-Ankabut: 2-3)
Ujian dan cobaan yang menghampiri hamba
beragam macam dan bentuknya, bisa berupa kekurangan harta, hilangnya
jiwa, kelaparan, dan sebagainya. Allah Subhanahu wata’aala berfirman:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Hikmah Cobaan yang Menimpa Hamba
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa‘di rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat di atas: “Allah
Subhanahu wata’aala mengabarkan Dia pasti menguji hamba-hamba-Nya agar
menjadi jelas orang yang jujur dari orang yang dusta, orang yang
berkeluh kesah dari orang yang sabar. Demikianlah sunnatullah kepada
hamba-hamba-Nya. Karena kelapangan bila terus-menerus ada pada ahlul
iman dan tidak ada ujian serta cobaan bersama kelapangan tersebut,
niscaya akan bercampur-baur antara ahlul iman dengan selainnya (tidak
dapat dibedakan).
Hal ini jelas merupakan kerusakan.
Sementara hikmah Allah Subhanahu wata’aala mengharuskan terpisahnya
orang yang baik dari orang yang jelek. Ini merupakan faedah ujian dan
cobaan, karena tujuan ujian dan cobaan bukanlah menghilangkan keimanan
yang pada kaum mukminin dan bukan pula untuk memurtadkan mereka dari
agama mereka.
Allah Subhanahu wata’aala tidaklah
menyia-nyiakan iman kaum mukminin. Dia mengabarkan dalam ayat ini bahwa
Dia akan menguji hamba-hamba-Nya: “Dengan sedikit ketakutan” dari
musuh-musuh mereka, “kelaparan”, yakni sedikit dari rasa takut dan
sedikit kelaparan. Karena bila Dia menguji mereka dengan ketakutan
seluruhnya atau kelaparan seluruhnya niscaya mereka akan binasa,
sementara ujian itu untuk menyaring bukan untuk membinasakan.
“Kekurangan harta” meliputi seluruh kekurangan yang menimpa harta berupa
bencana yang turun dari langit, tenggelam, hilang, dirampas oleh orang
yang zalim dari kalangan raja/penguasa yang zalim dan perampok/pembegal
jalanan dan selainnya. “(Kekurangan) jiwa” yakni meninggalnya
orang-orang yang dicintai, baik anak-anak, karib kerabat atau sahabat.
Temasuk kekurangan jiwa adalah berbagai macam penyakit yang menimpa pada
tubuh hamba atau tubuh orang yang dicintainya. “Dan (kekurangan)
buah-buahan” berupa biji-bijian, buah kurma, pepohonan seluruhnya, sayur
mayur, karena musim dingin yang sangat atau terbakar atau hama yang
diturunkan dari langit berupa belalang dan semisalnya.
Perkara-perkara ini mesti terjadi karena
Dzat yang Maha Mengetahui Maha Mengabarkan telah memberitakannya, maka
terjadilah sebagaimana diberitakan-Nya. Bila musibah ini terjadi,
manusia terbagi dua: orang-orang yang berkeluh kesah dan orang-orang
yang sabar. Orang yang berkeluh kesah terjadi pada dirinya dua musibah,
yaitu hilangnya apa yang dicintainya karena adanya musibah tersebut dan
luput darinya perkara yang lebih besar daripada musibah tersebut yaitu
pahala dengan berpegang pada perintah Allah Subhanahu wata’aala berupa
perintah bersabar. Maka dia merugi dengan penyesalan dan terhalang dari
pahala ditambah dengan berkurangnya imannya. Terluput dari dirinya
kesabaran, keridhaan dan kesyukuran.
Adapun orang yang diberi taufik oleh
Allah Subhanahu wata’aala ketika terjadi musibah, maka ia menahan
dirinya dari murka dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dia berharap
pahala musibah tersebut di sisi Allah Subhanahu wata’aala. Dia tahu
pahala yang akan diperolehnya dengan kesabarannya lebih besar daripada
musibah yang menimpanya. Bahkan musibah menjadi kenikmatan bagi dirinya
karena musibah tersebut menjadi jalan untuk memperoleh perkara yang
lebih baik baginya dan lebih bermanfaat. Sungguh ia telah berpegang
dengan perintah Allah Subhanahu wata’aala dan beruntung memperoleh
pahalanya. Karena itulah Allah Subhanahu wata’aala berfirman: “ Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Yakni berilah kabar gembira kepada
mereka bahwa akan ditunaikan pahala mereka tanpa perhitungan/batasan.
Orang-orang yang sabar adalah mereka yang beruntung mendapatkan kabar
gembira yang besar ini dan anugerah yang tiada terkira.” (Taisir
Al-Karimir Rahman, hal. 76)
Wajib Bersabar ketika Ditimpa Musibah
Salah satu ujian/cobaan yang disebutkan
dalam ayat Allah Subhanahu wata’aala di atas adalah hilangnya jiwa atau
meninggalnya orang yang dicintai, baik anak, suami, istri, orang tua,
karib kerabat atau sahabat yang dekat. Dan ini satu kemestian. Maknanya,
seseorang tidak mungkin hidup langgeng selama-lamanya bersama
orang-orang yang dicintainya. Bisa jadi dia yang lebih dahulu
“meninggalkan” mereka, atau mereka yang “meninggalkan”-nya, karena Allah
Subhanahu wata’aala berfirman:
“Setiap yang bernyawa mesti akan merasakan mati.” (Ali ‘Imran: 185)
Kewajiban bagi yang ditinggal adalah
bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’aala dan bersabar. Anas bin Malik
Radhiyallohu’anhu berkata: “Nabi Sholallohu’alaihi wasallam melewati
seorang wanita yang sedang menangis di sisi sebuah kuburan. Beliaupun
berkata:
“Bertakwalah kepada Allah1
dan sabarlah.” Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali
siapa yang menasehatinya: “Biarkan aku karena engkau tidak ditimpa
musibah seperti musibahku (tidak merasakan musibah yang aku rasakan
–pen.)”
Dikatakanlah kepada si wanita: “Yang
menasehatimu adalah Nabi Sholallohu’alaihi wasallam.” Wanita itu
(terkejut) bergegas mendatangi Nabi Sholallohu’alaihi wasallam dan tidak
didapatkannya penjaga pintu di sisi (pintu) Nabi Sholallohu’alaihi
wasallam. “Aku tadi tidak mengenalimu”, katanya menyampaikan uzur. Nabi
Sholallohu’alaihi wasallam bersabda: “Hanyalah kesabaran itu pada
shadmah2 (goncangan) yang pertama.” (HR. Al-Bukhari no. 1283 dan Muslim no. 926)
Kesabaran yang dimaksudkan dalam hadits
di atas adalah sabar yang sempurna yang membuahkan pahala yang besar
karena besar pula kesulitan yang dihadapi. (Syarhu Muslim, 6/227)
Al-Khaththabit berkata: “Maknanya adalah
kesabaran yang dipuji pelakunya adalah kesabaran ketika musibah datang
tiba-tiba. Beda halnya dengan kesabaran yang ada setelah itu, karena
dengan berlalunya hari-hari maka musibah itu akan terlupakan.” (Fathul
Bari, 3/185)
Usamah bin Zaid Radhiyallohu’anhu
berkata: “Putri Nabi Sholallohu’alaihi wasallam mengirim utusan menemui
Nabi Sholallohu’alaihi wasallam untuk mengabarkan bahwa anaknya (yang
berarti cucu Nabi –pen.) sedang menjelang ajal dan Nabi
Sholallohu’alaihi wasallam dimohon bersedia datang ke rumahnya. Maka
Nabi Sholallohu’alaihi wasallam pun mengirim orang untuk menyampaikan
salam beliau disertai pesan:
“Sesungguhnya milik Allah-lah apa yang
diambilnya dan milik-Nyalah apa yang Dia berikan. Dan masing-masing
orang di sisi Allah memiliki ajal yang telah ditentukan, maka hendaklah
ia bersabar dan mengharap pahala dari Allah.”
Putri beliau Sholallohu’alaihi wasallam
kembali mengirim orang untuk menemui beliau dan bersumpah agar beliau
bersedia datang ke rumahnya. Akhirnya Nabi Sholallohu’alaihi wasallam
bangkit menuju rumah putrinya disertai Sa‘d bin Ubadah, Mu‘adz bin
Jabal, Ubai bin Ka‘ab, Zaid bin Tsabit dan beberapa orang lainnya. Anak
itu lalu diangkat kepada Nabi Sholallohu’alaihi wasallam dalam keadaan
napasnya berbunyi tersengal-sengal. Mengalirlah air mata beliau
Sholallohu’alaihi wasallam. Melihat hal itu, Sa‘d bertanya: “Wahai
Rasulullah, kenapa engkau menangis?3” Beliau menjawab:
“Ini adalah kasih sayang dan iba yang
Allah berikan di hati-hati para hamba. Allah hanyalah merahmati
hamba-hamba-Nya yang punya rasa kasih sayang.” (HR. Al-Bukhari no. 1284
dan Muslim no. 923)
Haramnya Niyahah
Banyak kita saksikan di masyarakat kita,
ketika musibah kematian menimpa suatu keluarga, anggota keluarga yang
ditinggalkan khususnya kalangan wanitanya ataupun orang-orang yang dekat
dengan si mayit meratapinya, dengan menangis meraung-raung,
berteriak-teriak menyebutkan kebaikan orang yang meninggal tersebut,
memukul-mukul pipi, merobek baju dan perbuatan jahiliyah semisalnya.
Meratapi mayit dengan menangis meraung-raung inilah yang dikenal dengan
istilah niyahah.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
berkata: “Niyahah ini adalah ratapan yang dilakukan oleh laki-laki dan
wanita, akan tetapi hal ini banyak dilakukan oleh wanita.” (Al-Qaulul
Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 2/25).
Bahkan di zaman jahiliyah (mungkin juga
ada di zaman sekarang), ada di antara wanita yang menjadi tukang ratap
bayaran. Ia menyediakan dirinya untuk dipanggil guna meratapi orang yang
meninggal. Dan karenanya ia mendapatkan upah.
Ulama sepakat niyahah ini haram hukumnya
(Syarhu Muslim 6/236) bahkan termasuk dosa besar, karena datang nash
yang berisi ancaman di akhirat berupa azab bagi pelakunya (Al-Kaba`ir,
Al-Imam Adz-Dzahabi, hal. 10).
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
berkata: “Dosa niyahah ini tidak akan diampuni kecuali dengan bertaubat.
Adapun kebaikan-kebaikan yang dilakukan tidak dapat menghapuskannya,
karena niyahah termasuk dosa besar. Sementara dosa besar hanya
dihapuskan dengan taubatnya si pelaku.” (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit
Tauhid, 2/25)
Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam bersabda:
“Ada empat hal dari umatku yang termasuk
perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya, yaitu
berbangga-bangga dengan kebanggaan keluarga, mencela nasab, minta hujan
kepada bintang-bintang dan niyahah.” Dan beliau menyatakan: “Wanita yang
melakukan niyahah apabila tidak bertaubat sebelum meninggalnya, maka
kelak di hari kiamat dia akan diberdirikan dengan memakai pakaian
panjang dari tembaga dan pakaian dari kudis.” (HR. Muslim no. 934)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah
menyatakan bahwa wanita yang berbuat niyahah mendapatkan azab yang
demikian karena ia memerintahkan untuk berkeluh kesah dan melarang dari
kesabaran. Sementara Allah Subhanahu wata’aala dan Rasul-Nya n telah
memerintahkan untuk bersabar dan mengharap pahala serta melarang dari
keluh kesah dan murka ketika datang musibah. (Al-Kaba`ir, hal. 203)
Abdullah bin Mas‘ud Radhiyallohu’anhu berkata: “Nabi Sholallohu’alaihi wasallam bersabda:
“Tidak termasuk golongan kami orang yang
memukul-mukul pipi (karena meratap ketika ditimpa musibah –pen.),
merobek kantung dan menyeru dengan seruan jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari
no. 1294 dan Muslim no. 103)
Yang dimaksud dengan “menyeru dengan
seruan jahiliyah” adalah melakukan niyahah, menyebut-nyebut kebaikan si
mayat dan mendoakan kecelakaan menimpa diri. Demikian kata Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah menukil dari Al-Qadhi ‘Iyadh. (Syarhu Shahih
Muslim, 2/110)
Abu Musa Radhiyallohu’anhupernah
menderita sakit yang parah hingga ia pingsan dan kepalanya berada di
pangkuan salah seorang wanita dari kalangan keluarganya. Maka
menjeritlah wanita tersebut, sementara Abu Musa Radhiyallohu’anhu tidak
mampu mengucapkan satu katapun kepada si wanita. Tatkala Abu Musa
Radhiyallohu’anhu siuman ia berkata:
“Aku berlepas diri terhadap apa yang
Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam berlepas diri darinya.
Sesungguhnya Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam berlepas diri dari
wanita yang meninggikan suaranya (berteriak) ketika terjadi musibah,
wanita yang mencukur rambutnya ketika terjadi musibah (untuk berduka,
red), dan wanita yang merobek pakaiannya ketika terjadi musibah.” (HR.
Al- Bukhari no. 1296 dan Muslim no. 104)
‘Aisyah Radhiyallohu’anha mengabarkan:
“Tatkala datang berita kematian Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib
dan Abdullah bin Rawahah, Nabi Sholallohu’alaihi wasallam duduk dan
tampak kesedihan pada diri beliau. Aku melihat hal itu dari celah pintu.
Lalu datanglah seseorang menemui beliau dengan membawa kabar: “Wahai
Rasulullah, istri dan kerabat wanita Ja’far meratap”, katanya sembari
menceritakan bagaimana tangisan mereka. Nabi Sholallohu’alaihi wasallam
pun memerintahkan orang itu agar melarang mereka dari berbuat demikian.
Orang itu pun pergi untuk menunaikan perintah tersebut. Namun kemudian
orang itu kembali lagi dengan berkata: “Demi Allah, sungguh kami tidak
mampu mendiamkan mereka.” Nabi Sholallohu’alaihi wasallam berkata:
“Taburkan pasir di mulut-mulut mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 1305 dan Muslim no. 935)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam
syarahnya terhadap hadits di atas membawakan ucapan Al-Imam Al-Qurthubi
rahimahullah berikut ini: “(Adanya perintah Nabi Sholallohu’alaihi
wasallam yang demikian –pen.) menunjukkan para wanita itu menangis
dengan suara keras, maka ketika mereka tidak berhenti dari perbuatan
demikian, beliau Sholallohu’alaihi wasallam memerintahkan agar menyumpal
mulut-mulut mereka dengan pasir. Dikhususkan mulut dalam hal ini karena
dari mulutlah keluar ratapan tersebut, beda halnya dengan mata
misalnya.” (Fathul Bari, 3/207)
Karena haramnya perbuatan niyahah ini
maka Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam membai’at para wanita
shahabiyah agar tidak melakukannya sebagaimana diceritakan Ummu
‘Athiyyah Radhiyallohu’anha. Ia berkata:
“Nabi Sholallohu’alaihi wasallam
mengambil perjanjian dari kami (para wanita) ketika membai’at agar kami
tidak melakukan niyahah. Tidak ada seorang wanita pun yang berbai’at
ketika itu yang memenuhinya kecuali lima orang yaitu Ummu Sulaim, Ummul
‘Ala`, putri Abu Sabrah istri Mu’adz dan dua wanita lainnya, atau putri
Abu Sabrah, istri Mu’adz dan seorang wanita yang lain.”5 (HR. Al-Bukhari
no. 1306 dan Muslim no. 936)
Niyahah Termasuk Amalan Kekufuran
Niyahah termasuk amalan kekufuran karena
Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam menggolongkannya ke dalam
perbuatan jahiliyah dalam sabdanya:
“Ada empat hal dari umatku yang termasuk
perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya, yaitu
berbangga-bangga dengan kebanggaan keluarga, mencela nasab, minta hujan
kepada bintang-bintang dan niyahah.” (HR. Muslim no. 934)
Beliau Sholallohu’alaihi wasallam juga menyatakan:
“Ada dua perkara pada manusia yang
menyebabkan mereka kufur yaitu mencela nasab dan niyahah terhadap orang
yang meninggal.” (HR. Muslim no. 67)
Yang dimaksud dengan kufur di sini
adalah kufur ashgar yakni kufur yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya
dari agama Islam. (Fathul Majid hal. 424, I‘anatul Mustafid bi Syarhi
Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, 2/112)
Niyahah akan Menarik Setan
Ummu Salamah x bertutur: “Ketika Abu
SalamahRadhiyallohu’anhumeninggal, aku berkata: “Dia orang asing dan
berada di negeri asing.6 Sungguh-sungguh aku akan
menangisinya dengan satu tangisan yang akan diperbincangkan. Maka aku
pun telah bersiap-siap untuk menangisinya. Tiba-tiba datang seorang
wanita dari ‘Awali Madinah, ia ingin membantuku untuk menangisi Abu
Salamah. Lalu datanglah Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam dan
berkata:
“Apakah engkau ingin memasukkan setan ke rumah yang Allah telah mengeluarkan setan itu darinya?”
Beliau ucapkan hal itu dua kali. Aku menahan diri dari menangis hingga aku pun tidak menangis. (HR. Muslim no. 922)
Boleh Menangisi Mayit
Hadits Usamah bin Zaid cyang telah lewat
penyebutannya menunjukkan bolehnya menangisi orang yang meninggal. Dan
tidak hanya sekali Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam menangis
seperti itu. Ketika putri beliau, Zainab radhiyallohu’anha meninggal,
beliau menangis di dekat kuburannya. Anas bin Malik Radhiyallohu’anhu
berkata:
“Kami menghadiri (pemakaman) putri
Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam sementara Rasulullah
Sholallohu’alaihi wasallam duduk dekat kuburannya. Maka aku melihat air
mata beliau mengalir. Beliau bersabda: ‘Adakah salah seorang dari kalian
yang tidak menggauli istrinya semalam?’ Abu Thalhah Radhiyallohu’anhu
berkata: ‘Saya.’ ‘Turunlah ke dalam kuburnya,’ titah beliau. Maka Abu
Thalhah pun turun ke kuburan Zainab radhiyallohu’anha dan
menguburkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1342)
Demikian pula ketika beliau menyampaikan
kepada para shahabatnya berita syahidnya Zaid bin Haritsah, Ja‘far bin
Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah radhiyallohu’anhum dalam perang
Mu‘tah, kedua pelupuk mata beliau basah berlinang air mata. (HR.
Al-Bukhari no. 1246)
Semua ini menunjukkan bolehnya menangisi
orang yang meninggal, tapi dengan ketentuan tidak dengan suara keras
atau tidak disertai dengan perbuatan jahiliyah serta perkataan yang
menunjukkan kemarahan dan kemurkaan terhadap apa yang Allah Subhanahu
wata’aala taqdirkan. Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam bersabda
ketika meninggalnya putra beliau yang masih balita bernama Ibrahim.
“Sungguh air mata ini mengalir dan hati
ini bersedih namun kami tidak mengatakan kecuali apa yang diridhai Rabb
kami dan sungguh perpisahan denganmu wahai Ibrahim sangatlah menyedihkan
kami.” (HR. Al-Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 2315)
Dan beliau Sholallohu’alaihi wasallam menyatakan:
“Sesungguhnya Allah tidak mengazab
(seorang hamba) karena tetesan air mata(nya) dan kesedihan hati(nya),
akan tetapi Allah mengazab atau merahmati karena ini –beliau
mengisyaratkan ke lidahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1304 dan Muslim no.
924)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
menyatakan bahwa menangis yang dibolehkan adalah menangis yang didorong
oleh thabi’yah (secara wajar tidak dibuat-buat) bukan karena murka
terhadap ketetapan takdir Allah Subhanahuwata’aala. Tangisan yang
seperti ini tidaklah dicela bila seorang hamba melakukannya. Seperti
yang pernah terjadi pada Nabi Sholallohu’alaihi wasallam ketika
mendapati cucunya dalam keadaan sakaratul maut, maka beliau n menangis
karena iba dan kasihan melihat kepayahan anak tersebut ketika menjemput
maut. Termasuk pula dalam hal ini menangis karena sedih berpisah dengan
orang yang dicintai sebagaimana terjadi pada Nabi Sholallohu’alaihi
wasallam ketika meninggal putra beliau yang bernama Ibrahim. (Syarhu
Riyadhish Shalihin 4/307-308)
Yang Semestinya Dilakukan ketika Terjadi Musibah
Ketika musibah kematian datang menimpa,
seorang hamba wajib untuk bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah
Subhanahuwata’aala. Dia ucapkan kalimat istirja’; Inna lillahi wa inna
ilaihi raji‘un. Dan berdoa kepada Allah Subhanahu wata’aala sebagaimana
dituntunkan Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam:
“Ya Allah, berilah pahala kepadaku dalam musibahku ini dan gantikanlah untukku dengan yang lebih baik dari musibahku ini.”
Ketika Ummu Salamahradhiyallohu’anhu
ditimpa musibah dengan meninggalnya suaminya, Abu Salamah
Radhiyallohu’anhu, ia pun mengucapkan doa ini. Saat masa ‘iddah-nya
selesai, Nabi Sholallohu’alaihi wasallam meminangnya dan
mempersuntingnya sehingga Ummu Salamah menjadi salah seorang ummahatul
mukminin (HR. Muslim no. 918). Allah Subhanahu wata’aala benar-benar
menggantikan untuk Ummu Salamah dengan apa yang lebih baik dari musibah
yang menimpanya karena kesabarannya dan keyakinannya.
Demikianlah… Semoga apa yang tertuang
dalam tulisan ini menjadi perhatian bagi para wanita agar mereka
meninggalkan niyahah dan perbuatan yang diharamkan lainnya ketika
terjadi musibah. Dan sebaliknya, mereka melazimi kesabaran dan berharap
pahala dari Rabbul ‘Izzah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
--------------------------------------------------------------------------------
1) Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah
berkata: “Yang dzahir di sini, tangisan si wanita melebihi perkara yang
dibolehkan berupa niyahah dan selainnya. Karena itulah Nabi
Sholallohu’alaihi wasallam memerintahkannya untuk bertakwa (kepada
Allah).” (Fathul Bari, 3/184)
2) makna asalnya adalah pukulan pada
sesuatu yang keras, kemudian digunakan secara majaz pada segala yang
dibenci/tidak disukai yang terjadi dengan tiba-tiba. (Syarhu Muslim,
6/227)
3) Sa’d menyangka seluruh macam tangisan
(ketika menghadapi musibah kematian –pen.) itu haram, termasuk
meneteskan air mata pun haram. Dan Sa’d menyangka Nabi Sholallohu’alaihi
wasallam lupa akan hal itu, karenanya ia ingin mengingatkan beliau.
Maka Nabi Sholallohu’alaihi wasallam mengajarkan kepada Sa’d bahwa
sekedar menangis dan meneteskan air mata tidaklah haram dan tidaklah
makruh, bahkan hal itu merupakan rahmat dan keutamaan. Yang diharamkan
hanyalah niyahah dan meratap dengan menyebut-nyebut kebaikan si mayit.
(Syarhu Muslim, 6/225)
0 komentar:
Posting Komentar